Proses Fisis Pembentukan Awan dan Hujan di Kawasan Tropis


Climate4life.info - Proses fisis pembentukan awan dan hujan di kawasan tropis memiliki perbedaan yang signifikan dengan proses fisis pembentukan awan dan hujan yang membentuk cuaca pada kawasan lintang menengah dan lintang tinggi.




Tropis Versus Lintang di atasnya

Pada kawasan dengan ciri iklim tropis umumnya proses pembentukan awan dapat terjadi pada suhu tinggi (>0 °C) melalui pengangkatan udara atau proses konvektif yang diakibatkan oleh adanya pemanasan yang kuat pada permukaan tanah. 

Adapun pada kawasan dengan ciri iklim lintang menengah dan lintang tinggi proses yang terjadi umumnya karena adanya front yaitu pertemuan massa udara panas dan massa udara dingin di kawasan tersebut [1]. Perhatikan Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Proses pengangkatan massa udara yang membentuk awan; sumber Ahrens [2]


Pada Gambar 1 di atas tersaji empat proses pengangkatan massa udara yang kemudian membentuk awan yaitu (1a) proses konvektif, (1b) efek orografi, (1c) sistem konvergensi dan (1d) sistem front. 

Umum yang terjadi pada kawasan tropis adalah proses konvektif pada Gambar 1b, sehingga cuaca di daerah tropis umumnya terjadi dengan perubahan yang cepat dan mendadak. Lebih lanjut dapat di baca pada Cloud and Rain Formation.



Proses Fisis Awan dan Hujan

Inti Kondensasi


Cuaca berupa hujan dimulai dari terbentuknya awan oleh proses kondensasi. 

Dalam atmosfer tetes awan terbentuk pada aerosol yang berfungsi sebagai inti kondensasi atau inti pengembunan. Kecepatan pembentukan tetes tersebut ditentukan oleh banyaknya inti kondensasi. 

Proses dimana tetes air dari fasa uap terbentuk pada inti kondensasi disebut pengintian heterogen. 

Adapun pembentukan tetes air dari fasa uap dalam suatu lingkungan murni yang memerlukan kondisi sangat jenuh (supersaturation) disebut pengintian homogen. 

Pengintian homogen yaitu pembekuan pada air murni hanya akan terjadi pada suhu dibawah -40 °C. Akan tetapi dengan keberadaan aerosol sebagai inti kondensasi maka pembekuan dapat terjadi pada suhu hanya beberapa derajat dibawah 0 °C [3].

Inti kondensasi adalah partikel padat atau cair yang dapat berupa debu, asap, belerang dioksida, garam laut (NaCl) atau benda mikroskopik lainnya yang bersifat higroskopis, dengan ukuran 0,001 – 10 mikrometer. 



Proses Kondensasi

Secara singkat proses kondensasi dalam pembentukan awan adalah sebagai berikut:

  1. Udara yang bergerak ke atas akan mengalami pendinginan secara adiabatik sehingga kelembaban nisbinya (RH) akan bertambah, tetapi sebelum RH mencapai 100 %, yaitu sekitar 78 % kondensasi telah dimulai pada inti kondensasi yang lebih besar dan aktif. 
  2. Perubahan RH terjadi karena adanya penambahan uap air oleh penguapan atau penurunan tekanan uap jenuh melalui pendinginan.
  3. Tetes air kemudian mulai tumbuh menjadi tetes awan pada saat RH mendekati 100 %. Karena uap air telah digunakan oleh inti-inti yang lebih besar dan inti yang lebih kecil kurang aktif tidak berperan maka volume tetes awan yang terbentuk jauh lebih kecil dari jumlah inti kondensasi.
  4. Tetes awan yang terbentuk umumnya mempunyai jari-jari 5 – 20 mm. Tetes dengan ukuran ini akan jatuh dengan kecepatan 0,01 – 5 cm/s sedang kecepatan aliran udara ke atas jauh lebih besar sehingga tetes awan tersebut tidak akan jatuh ke bumi. Bahkan jika kelembaban udara kurang dari 90 % maka tetes tersebut akan menguap.
  5. Untuk dapat jatuh ke bumi tanpa menguap maka diperlukan suatu tetes yang lebih besar yaitu sekitar 1 mm (1000 mikrometer), karena hanya dengan ukuran demikian tetes tersebut dapat mengalahkan gerakan udara ke atas [4]. 

Jadi perbedaan antara tetes awan dan tetes hujan adalah pada ukurannya sebagaimana tersaji pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Ilustrasi perbandingan inti kondensasi, tetes awan dan tetes hujan [6]


Jika sebuah awan tumbuh secara kontinu, maka puncak awan akan melewati isoterm 0 °C. Tetapi sebagian tetes-tetes awan masih berbentuk cair dan sebagian lagi berbentuk padat atau kristal-kristal es jika terdapat inti pembekuan. 

Jika tidak terdapat inti pembekuan, maka tetes-tetes awan tetap berbentuk cair hingga mencapai suhu -40 0 °C bahkan lebih rendah lagi.



Awan dan Cuaca pada Kawasan Tropis

Presipitasi merupakan jatuhan hydrometeor yang sampai ke bumi baik dalam bentuk cair (hujan) ataupun padat (es atau salju). 

Pada kawasan dengan ciri iklim tropis seperti Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena sangat jarang terjadi presipitasi dalam bentuk jatuhan keping es.

Awan dan presipitasi sebagai bagian fenomena cuaca, merupakan bagian dari siklus hidrologi dan merupakan proses lanjutan dari kondensasi yaitu perubahan fasa dari uap air menjadi tetes-tetes air. 

Kondensasi terjadi pada berbagai kondisi seperti perubahan volume udara, suhu, tekanan dan kelembaban, apabila:
  • Udara didinginkan sampai titik embunnya meskipun volumenya tetap.
  • Volume udara bertambah tanpa ada penambahan panas karena udara didinginkan melalui ekspansi adiabatik. 
  • Perubahan suhu dan volume mengurangi kapasitas kebasahan udara.

Di daerah tropis pembentukan awan terjadi pada suhu tinggi dan dengan kelembaban yang tinggi juga. Dengan demikian awan yang terbentuk mempunyai kandungan air-cair tinggi [1].

Presipitasi atau hujan berdasarkan mekanisme dominan dari gerak vertikal dibedakan menjadi presipitasi stratiform dan presipitasi konvektif [5], yang tersaji pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Jenis-jenis awan; sumber Ahrens [2]



1. Presipitasi stratiform

Yaitu presipitasi dari awan stratifom yang terbentuk karena gerak vertikal yang kontinu dan menyebar luas. 

Pada Gambar 3 di atas contohnya adalah awan jenis stratus dan stratocumulus. Hal ini terjadi karena kenaikan frontal atau orografik arau konvergensi dalam skala besar. 


Presipitasi dari awan stratiform tumbuh dari proses kristal es. Awan ini mempunyai kadar air lebih rendah sehingga koalisensi tidak efektif. Masa hidup awan relatif lama. 

Jika suhu lingkungan awan mencapai -15 °C, maka proses kristal es dapat menyebabkan presipitasi. 




2. Presipitasi konvektif

Yaitu presipitasi dari awan konvektif karena kondisi udara yang tidak stabil yang menyebabkan gerak vertikal tetapi terlokalisir dalam skala yang tidak luas.

Pada Gambar 3 di atas contohnya adalah awan jenis Cumulus dan Cumulonimbus.

Cuaca yang terbentuk berupa hujan yang terjadi umumnya tiba-tiba dan sangat lebat (heavy shower) tetapi terjadi dalam waktu yang singkat.

Dalam awan konvektif waktu presipitasi lebih pendek tetapi kadar air lebih tinggi dari stratiform sehingga koalisensi sangat berperan menghasilkan hujan.

Jadi cuaca yang terbentuk melalui mekanisme presipitasi antara awan stratiform dan awan konvektif sangat berbeda. 

Sebagai pendekatan, hujan kontinu dapat dipandang sebagai keadaan mantap (steady-state process) di mana besaran awan dapat berubah dengan ketinggian tetapi konstan terhadap waktu pada ketinggian tertentu. 

Sebaliknya, hujan shower dapat didekati sebagai sistem dimana sifat-sifat awan berubah dengan waktu tetapi konstan terhadap ketinggian pada waktu tertentu [3].

Berdasarkan ketinggian terbentuknya maka awan dibagi menjadi tiga kelompok sebagaimana tersaji pada Gambar 3 di atas, yaitu: 
  • Awan rendah, 
yaitu awan yang mempunyai ketinggian dasar kurang dari 2 km meliputi jenis stratus (st), stratocumulus (sc), cumulus (cu), cumulonimbus (cb) dan nimbostratus (ns). 

Khusus cu, cb dan ns, mempunyai dasar sebagai awan rendah namun tumbuh secara vertikal yang puncaknya mencapai awan tinggi.

  • Awan menengah, 
yaitu awan ketinggian dasar antara 2-7 km, meliputi jenis altocumulus (ac) dan altostratus (as).

  • Awan tinggi, 
yaitu awan dengan ketinggian dasar lebih dari 7 km, meliputi cirrus (ci), cirrocumulus (cc) dan cirrostratus (cs).

*****

Demikian ulasan Proses Fisis Pembentukan Awan dan Hujan di Kawasan Tropis. Semoga bermanfaat. Terima kasih


REFERENSI:
[1] Soenarmo, Sri Hartati., 1999, Diktat Meteorologi Tropis, Departemen Geofisika dan Meteorologi, ITB Bandung.
[2] Ahrens. Essential of Meteorology
[3] Tjasyono, HK, B., 1990, Meteorologi Fisis, FMIPA, ITB, Bandung.
[4] Neiburger, M., Edinger, J.G., Bonner, W.D., 1995, Memahami Lingkungan Atmosfer Kita, Edisi kedua, Penerbit ITB, Bandung.
[5] Tjasyono, HK, B., 2001, Mikrofisika Awan dan Hujan, Departemen Geofisika dan Meteorologi FIKTM, ITB, Bandung.
[6] Cloud Machine

Dukung Kami
Climate4life.info mendapat sedikit keuntungan dari penayangan iklan yang ada dan digunakan untuk operasional blog ini.
Jika menurut anda artikel pada blog ini bermanfaat, maukah mentraktir kami secangkir kopi melalu "trakteer id"?

Post a Comment

0 Comments