Udara pada musim kemarau justru lebih banyak menampung uap air


Climate4life.info - Udara pada musim kemarau justru lebih banyak menampung uap air

Kita tahu, atmosfer kita tersusun dari berbagai macam gas.

Berdasarkan keberadaan uap air, maka udara dibedakan menjadi udara kering dan udara basah. Udara kering adalah udara tanpa uap air dan udara basah tentunya karena mengandung uap air.

Ada banyak cara untuk menyatakan keberadaan uap air dalam atmosfer, yaitu:
  • Kelembapan mutlak atau juga densitas uap (𝛿v)
  • Mixing ratio (r) atau perbandingan campuran antara massa uap air (Mv) dan massa udara kering (Md)
  • Kelembapan Nisbi (RH), menyatakan perbandingan tekanan uap air (e) dan tekanan uap air jenuh (es) pada suhu yang sama
  • Kelembapan Spesifik (q), menyatakan perbandingan massa uap air (Mv) dan massa udara lembab (M)
  • Suhu titik embun atau  dew point (Td), didefinisikan sebagai suhu dimana udara basah menjadi jenuh jika didinginkan pada  tekanan konstan, tanpa ada penambahan dan pengurangan uap  air.


Edward Aguado dan James E. Burt* dalam "Understanding Weather and Climate", mengatakan dari berbagai macam cara untuk menyatakan uap air tersebut, tidak ada kebenaran tunggal akan hal ini karena masing-masing cara memiliki tujuan masing-masing.

Lalu bagaimana bisa pada saat musim kemarau yang kering udara justru lebih bisa menampung banyak uap air?

Bukankah pada musim hujan lebih lembab jadi lebih banyak uap air?

Baik, mari kita gunakan 2 ukuran uap air yang populer digunakan di dunia cuaca dan iklim yaitu kelembapan nisbi (RH) dengan satuan persen dan suhu titik embun (Td).

Secara umum pada musim hujan RH akan tinggi namun Td rendah. Sebaliknya pada musim kemarau RH akan rendah namun Td tinggi. Apa artinya?

Mari kita simak pernyataan Ahrens dalam Essential of Meteorology tentang RH vs Td yaitu:
  • RH tidak mencerminkan jumlah uap air aktual, hanya untuk menunjukkan seberapa cepat udara menjadi jenuh.
  • RH dapat berubah jika jumlah uap air berubah atau suhu udara berubah.
  • Pada jumlah uap air yang tetap, penurunan suhu udara akan meningkatkan RH dan sebaliknya.

Adapun Td:
  • Indikator yang baik tentang jumlah uap air dalam udara
  • Td yang tinggi mengindikasi jumlah uap air yang tinggi dan sebaliknya Td rendah berarti rendah pula jumlah uap airnya.
  • Penambahan uap air akan meningkatkan Td dan pengurangan uap air akan menurunkan Td

Lanjut, perhatikan analogi di bawah ini.

Gambar 1. Perbandingan RH dan Td |
Sumber: Ahrens dalam "Essential of Meteorology"



Gambar di atas membandingkan kondisi di kutub dengan padang pasir. Pada daerah kutub, RH mencapai 100 persen artinya udara sangat jenuh dengan uap air.

Karena Td yang rendah, artinya kemampuan menampuang uap air rendah, penambahan uap air sedikit saja membuat udara segera jenuh.

Pada daerah padang pasir, RH sangat rendah namun Td tinggi. Artinya kemampuan untuk menampung uap air sangat tinggi. Namun karena RH yang rendah maka titik jenuh sulit dicapai.

Kembali ke musim kemarau dan musim hujan. Analogi gambar di atas mirip walau tidak sepenuhnya mewakili perbandingan pada musim kemarau dan musim hujan.

Pada musim hujan RH akan tinggi karena suhu yang relatif rendah dan Td yang rendah. Penambahan sedikit saja uap air maka membuat udara segera menjadi jenuh lalu mengembun.

Sebaliknya pada musim kemarau, RH rendah namun Td tinggi.

Kemampuan menampung uap air akan lebih banyak. Dengan RH yang rendah, butuh penambahan uap air yang besar untuk mencapai titik jenuh.

Itulah makanya kenapa pada musim kemarau udara lebih bisa  menampung uap air lebih banyak. Tetapi meskipun demikian proses mencapai titik jenuh di mana uap air bisa mengembun sangat sulit tercapai.

----000----

Demikian ulasan "Udara pada musim kemarau justru lebih banyak menampung uap air". Semoga bermanfaat.

----------------------
*Understanding Weather and Climate, 2nd edition, Prentice Hall.

Dukung Kami
Climate4life.info mendapat sedikit keuntungan dari penayangan iklan yang ada dan digunakan untuk operasional blog ini.
Jika menurut anda artikel pada blog ini bermanfaat, maukah mentraktir kami secangkir kopi melalu "trakteer id"?

Post a Comment

7 Comments

  1. makanya ga ujan ujan ya om

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo yang sekarang karena faktor lain yang sifatnya lebih makrofisis seperti pola angin

      Delete
  2. Hallo Bang Day!
    Kembali artikel yang sangat menarik. Terima kasih atas sharingnya. Satu fakta yang terkadang juga susah dicerna namun relevan dengan konsep yang diterangkan dalam artikel Bang Day adalah peningkatan peluang hujan di beberapa tempat pada saat di seluruh muka bumi terjadi perubahan iklim akibat peningkatan temperatur permukaan bumi.

    Ada yg membuat saya tertarik dengan pernyataan Bang Day di artikel di atas:

    "Secara umum pada musim hujan RH akan tinggi namun Td rendah. Sebaliknya pada musim kemarau RH akan rendah namun Td tinggi. "

    Mungkin bisa diterangkan lebih lanjut karena dari persamaan matematikanya, nilai RH dihitung dari perbandingan tekanan uap air pada suhu tertentu dg pada Td (yg dari definisi menyatakan kondisi jenuh), sehingga hubungan antara RH dg Td bersifat dinamis.

    Yang menarik jika kita melakukan eksperimen kecil dengan Kalkulator Td, yang bisa diakses di: http://www.dpcalc.org/
    Dengan mengambil temperatur yang sama dan melakukan simulasi nilai RH, kita bisa mendapatkan nilai Td. Dari sini saya kok berpikiran konsep tinggi-rendah tsb sepertinya relatif.

    Mungkin Bang Day melihatnya dari perspektif lain sehingga bisa membantu untuk pencerahannya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. langsung baca di sini aja yah hehehe
      http://www.climate4life.info/2016/01/kaitan-musim-terhadap-variasi-suhu.html

      Delete
  3. Makanya tiap abis musim kemarau panjang tuh hujan suka deras banget ya bang

    Salam,
    Puput

    ReplyDelete
  4. thank nice infonya, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2IcFh7H

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon tidak meletakkan link hidup yah.