Climate4life.info - Ketika kita bicara soal perubahan iklim, biasanya perhatian tertuju pada Revolusi Industri, pembakaran bahan bakar fosil, atau deforestasi modern.
Tapi tahukah kamu, para ilmuwan pernah menduga bahwa invasi Mongol di abad ke-13 bisa jadi telah menurunkan kadar karbon dioksida (CO₂) di atmosfer dan memberi dampak pada iklim bumi?
Pernyataan itu bukan mitos. Beberapa penelitian sebelumnya menyebut bahwa ketika populasi manusia berkurang drastis akibat perang atau wabah, lahan pertanian yang terbengkalai akan ditumbuhi kembali oleh hutan, menyerap karbon dari atmosfer.
Tapi benarkah sebesar itu pengaruhnya?
alert-success
Sebuah studi ilmiah penting oleh Julia Pongratz dkk. (2011) berjudul "Coupled climate–carbon simulations indicate minor global effects of wars and epidemics on atmospheric CO₂ between AD 800 and 1850", mencoba menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan ilmiah berbasis simulasi iklim-karbon.
Artikel ini merangkum hasil riset tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami.
Invasi Mongol dan Dugaan Dampak Iklim
Invasi Mongol (sekitar tahun 1200–1380 M) dikenal sebagai salah satu ekspansi militer paling dahsyat dalam sejarah. Dipimpin oleh Jenghis Khan dan penerusnya, kekaisaran ini menaklukkan wilayah dari Asia Tengah hingga Eropa Timur dan Tiongkok.
Efek samping dari penaklukan ini? Populasi menurun drastis, desa-desa hancur, dan lahan pertanian terbengkalai. Banyak yang menduga bahwa ketika hutan mulai tumbuh kembali di lahan-lahan tersebut, karbon dioksida dari atmosfer terserap dalam jumlah besar.
Secara teori, hal ini bisa menurunkan kadar CO₂ dan mempengaruhi iklim global. Tetapi, seberapa besar sebenarnya dampaknya?
Simulasi Ilmiah: Hutan Tumbuh, CO₂ Turun?
Untuk menjawab ini, para peneliti menggunakan model iklim dan karbon canggih yang menyimulasikan perubahan tutupan lahan, emisi karbon, dan interaksi biosfer–atmosfer. Mereka fokus pada empat peristiwa besar:
- Invasi Mongol (~1200–1380)
- Black Death di Eropa (~1347–1400)
- Penaklukan Amerika oleh Eropa (~1519–1700)
- Kejatuhan Dinasti Ming (~1600–1650)
Khusus untuk invasi Mongol, hasilnya cukup menarik:
Penurunan populasi sekitar 30% menyebabkan sekitar 309.000 km² lahan pertanian ditinggalkan. Hutan yang tumbuh kembali di wilayah ini berhasil menyerap sekitar 0,68 gigaton karbon (Gt C) melalui vegetasi.
Namun, tanah bekas pertanian justru terus mengeluarkan CO₂ dari sisa tumbuhan mati yang membusuk selama berabad-abad.
Hasil bersihnya? Penurunan CO₂ global hanya sekitar 0,18 ppm — terlalu kecil untuk terdeteksi oleh pengukuran dari inti es Antartika.
Kenapa Dampaknya Sangat Kecil?
Ada empat faktor penting yang menjelaskan mengapa invasi Mongol tidak mengubah iklim dunia secara signifikan:
- Pertumbuhan Hutan Butuh Waktu
Hutan tidak tumbuh semalam. Untuk menyerap karbon secara efektif, pohon harus mencapai usia matang, yang bisa memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun. - Emisi Tertunda dari Tanah
Sisa tanaman dan akar yang tertinggal saat hutan ditebang sebelumnya masih melepaskan CO₂ saat membusuk. Ini mengimbangi karbon yang diserap oleh hutan baru. - Respons Sistem Bumi_Ketika kadar CO₂ turun di satu wilayah, laut dan tanah di tempat lain cenderung melepas karbon untuk menyeimbangkan atmosfer. Jadi efek regional akan teredam oleh sistem global.
- Aktivitas di Wilayah Lain Terus Berlangsung_Meskipun di China terjadi penurunan aktivitas manusia, wilayah lain di dunia tetap aktif membuka lahan pertanian dan membakar hutan. Emisi dari tempat lain tetap tinggi.
Bagaimana dengan Peristiwa Besar Lainnya?
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa:
- Black Death dan jatuhnya Dinasti Ming tidak menciptakan dampak serapan karbon netto.
- Penaklukan Amerika menyebabkan penurunan emisi regional, tapi tetap kalah oleh emisi dari tempat lain.
- Hanya invasi Mongol yang cukup lama dan luas untuk menciptakan sedikit penurunan CO₂, tapi tetap kurang dari 1 ppm.
Artinya, tidak ada satu pun peristiwa tersebut yang dapat menjelaskan penurunan CO₂ hingga 3–5 ppm yang ditemukan dalam data inti es.
Fakta Tambahan: CO₂ Bisa Turun Tanpa Hutan Baru
Salah satu temuan menarik dari studi ini adalah bahwa penurunan CO₂ dalam sejarah tidak selalu harus berasal dari reforestasi. Jika emisi manusia berhenti tiba-tiba, alam akan menyerap karbon secara alami dan mengembalikan sistem ke keadaan sebelumnya.
Dengan kata lain, penghentian deforestasi atau aktivitas pertanian saja sudah bisa menurunkan CO₂, meskipun tidak ada hutan yang tumbuh secara masif.
Apa Implikasinya untuk Hari Ini?
Penelitian ini memberi pelajaran penting:
- Menanam pohon memang penting, tapi kita juga harus memperhitungkan faktor waktu dan dinamika sistem bumi.
- Mengurangi emisi sekarang jauh lebih efektif daripada berharap bumi “menyembuhkan diri” dari aktivitas manusia.
- Perubahan kecil di masa lalu tidak cukup untuk mengimbangi tren perubahan iklim saat ini yang jauh lebih cepat dan masif.
Kesimpulan
Meskipun terdengar menarik bahwa invasi Mongol bisa menurunkan CO₂ atmosfer, kenyataannya dampaknya sangat kecil secara global. Simulasi menunjukkan bahwa hutan yang tumbuh kembali memang menyerap karbon, tapi tidak cukup untuk memengaruhi iklim dunia secara nyata.
Untuk menghadapi perubahan iklim saat ini, kita tidak bisa bergantung pada fenomena historis seperti perang atau wabah. Solusinya ada di tangan kita sendiri: mengurangi emisi, melestarikan hutan, dan mengelola bumi secara berkelanjutan.
📌 Ingin tahu lebih banyak tentang jejak karbon dan sejarah perubahan iklim?
👉 Kunjungi blog kami: www.climate4life.info
1 Comments
Benerr. Ya gila aja kalo pake cara perang atau wabah lagi 😞😞. Cukuplah sekali. Mungkin efek ke lingkungan bagus, tp secara ekonomi berasaa banget anjloknya 😫
ReplyDeleteTerima kasih atas komentarnya. Mohon tidak meletakkan link hidup yah.